Kalau sudi, mampirlah sebentar....

Sabtu, 28 April 2012

AKU & DIAMKU

Saat-saat situasi seperti ini, hanyalah diam yang mampu kulakukan
Aku tak ingin semua berakhir seperti yang kupikirkan.
Aku pun tak pernah berpikir tentang apa yang mereka pikirkan.
Aku tak peduli, kuhanya berharap semoga semua baik-baik saja.
Aku diam bukan berarti membenci.
Aku membisu bukan ingin menyakiti.
Aku begini karena ingin hati-hati.

CATATAN HATI

Ingin kurebahkan penat ini di pundakmu
 agar hilang sejenak beban perasaan
  yang kian hari semakin tak mampu kulalui
   hanya mampu kujadikan hiasan perjalanan hidup ini

 Sesungguhnya aku telah MATI rasa!
dimakan resah yang tak tentu arah
diiris pilu setajam sembilu

Aku hanya bisa meringik
menahan perih luka dalam batin ini

Sungguh !!
Kuingin lepas dari belenggu ini...


#ekspresibeb@s:spesial buat yg lagi GALAUxiexie

SYAIR ANTI GALAU

Inilah syair pelipur hati
Syair tercipta peluap hati
Sedang mencipta galau menanti
Jadilah syair sebagai ganti

Jikalau hati resah gelisah
Obati hati jangan berkesah
Jangan dibuat hidupmu susah
Ukirkan indah menjadi kisah

Kisah pahit itu biasa
Pahit dikenang biarkan binasa
Biarkan hidup penuh selesa
Agar tenang menghadap Yang Kuasa

Syair penutup pemberi semangat
Biar diri selalu ingat
Meskipun hati seakan disengat
Jadikan sebuah senyuman hangat
          :-)

LAHIRNYA KATA ITU

Setelah sekian lama dieram
kata itu akhirnya menetas juga
 memecah pelan-pelan
  memecah kesunyian malam

Kata itu muncul dengan manisnya, namun pahit untuk dirasakan
 dan mendesing jika didengar

Kata itu telah menyadarkanku
 tentang arti sebuah perumpamaan
 aku
seakan tak mengerti
 tapi aku
dipatrikan untuk mengerti

Kata itu kelak akan tumbuh dewasa
akan menjadi sebuah perkataan
yang terus berkata-kata
meskipun kata telah menua
      hingga pada akhir kata

Sabtu, 21 April 2012

KISAHKU INSPIRASIKU


            Sejuk embun di pagi itu terasa menusuk ke pori-pori. Sang tetesan pagi itu pun mengejutkanku dari lelapnya tidur. Mata sembabku seakan menentang tubuh yang memaksanya tercelik. Sambil mengusal-usal mata, aku bergegas keluar kamar dan melihat jarum jam dinding menunjuk pukul 05.00 WIB.
            “Masih pagi betul. Wuaaaaah…” pikirku.
            Setelah sejenak melepas kantuk, aku pun bersiap-siap untuk mandi. Air sungai menjadi tempat mandi favoritku bersama teman-teman. Maklum saja, air bersih belum sempat singgah ke kampungku. Air yang berwarna kemerah-merahan seakan menjadi darah segar yang mengalir ke dalam jiwa-jiwa yang terpencil. Kami pun beradu dalam dinginnya sang sumber kehidupan.
            “Astaghfirullah…” ucapku sambil mengurut dada.
            Ternyata merdunya kumandang azan subuh tadi tak mampu menyadarkanku. Berarti tadi aku tidur dengan berselimutkan “kulit babi”.
            “Bukankan Rasulullah S.A.W. pernah bersabda bahwa barang siapa yang shalat dua waktu yang dingin, maka dia akan masuk surga (H.R. Bukhari dan Muslim). Dan aku tak akan menyia-nyiakan waktuku” pikirku dalam hati.
            Aku pun menepis pikiranku, lalu wudhu dan shalat.
            ***
            Putih biru, seragam sekolah kusam yang sudah 2 tahun belum mampu kuganti. Ah, biar sajalah. Bukanlah seragam sebagai benih, namun niat dalam hatilah yang akan tumbuh menjulang dalam menuntut ilmu. Bismillah…, aku pun melangkah bersama sepeda biruku. Sepeda yang kudapatkan dengan susah payah. Hasil tabunganku ditambah titik peluh ayah ibuku menjadi saranaku menuju cita-cita itu.
            Kondisi jalan yang becek akibat tangisan alam semalam cukup membuat kami kerepotan. Sepatu kugantungkan di stang sepada. Dan kami baru dapat mengayuhnya saat sudah sampai di desa Panggaklaut. Desa ini merupakan dusun I, sedangkan kampungku (Nerekeh) merupakan dusun II. Dusun-dusun sagu pun berceceran di tepi jalan melebar ke hutan. Sang Metroxylon sago Rottb tumbuh menjulang tinggi ke langit.
            “Ah,andaikan di kampungku ada pabrik sagu, tentunya SDAnya akan berkembang pesat” kataku sambil berandai-andai.
            “Jang…Jang…Macam manalah kampung kita akan maju, jalan masih tanah belorok, listrik pun tak masuk-masuk” timpal Awang sambil mengayuh sepedanya.
            “Nah,kalau macam tu berarti kita sebagai generasi mudalah yang akan merubahnya Wang. Pohon sagu batang pelepah, tumbuh menjulang di tanah paya, Insyaallah negeri akan berubah, kalau generasi muda terus berkarya. Betul tak tu Jang?” kata Maimunah dengan melirik ke arahku dan aku mengangguk kecil tanda setuju.
            Kami pun asyik berbual di sepanjang jalan. Tak terasa sudah tampak atap sekolah kami. Sekolah SMP N 1 LINGGA. Tempat berkumpulnya jiwa-jiwa penerus masa depan Lingga.
            “Maimun,..Cobalah awak lihat gunung cabang tiga itu. Elok sungguh memasung mata” pekikku pada Maimunah.
            “Iya Jang…Bangga kami jadi orang Daik. Kaya SDA, kaya sejarah, kaya budaya, dan pemandangan alamnya tak kalah elok dengan Pulau Dewata” sahut Maimunah setengah arogan.
            Memang betul cakap Maimunah. Pemandangan alam di Daik Lingga cukup mengesankan. Lihat saja Pantai Karang Bersulam dengan hamaparan pasir putihnya yang memanjang atau sering dikenal dengan Pasir Panjang. Selain itu, situs-situs peninggalan kerajaan Melayu Riau-Lingga dapat dilihat di sana.
            ***
            Part 1

Kamis, 22 Maret 2012

Do'a Aku Hujan

Do'a
Aku
               Hujan
Ku harap                           Tuhan
               Beri Mentari
               Cerah kan langit
               Hangat kan bumi
                       Aku
               Lega
               Angin menyapa
                       Aku
               Fana
               Bumi menjerit
               Mentari melejit
               Langit pun menangis
Do'a
Aku
               Hujan


                                                                                                                 

                                                                                                                Tanjungpinang, 22 Maret 2012
                                                                                                                Cipta : Sutris

BUI HATI


 Pintu hati ini tertutup rapat
Terkunci dengan gembok keegoisan
Terkurung perasaan bagai narapidana
Membunuh rasa denganm pisau kebohongan

Bui hati seakan menyiksa batin
Menjerit kesakitan dengan suara hampa

Bertahun-tahun memenjarakan hati
Dengan tatapan yang bengis
Dengan senyuman yang sinis
Hati seolah mati rasa
Terkubur dalam penjara

Ketika datang seorang bidadari
Dengan langkah gemulai
Berlari kecil seperti mengejar mimpi
Tetesan keringat mencucuri jiwa
Membakar semangat dengan api pengorbanan

Sedikit demi sedikit pintu hati mulai terbuka
Mengintip di balik rasa penasaran
Meski bertahun-tahun hanya dalam kegelapan
Tanpa cahaya sang bidadari
Yang mampu menerangi setiap naluri lelaki

Sang bidadari memancarkan wajah molek
Membuat rasa semakin terasa
Dan merasakan perasaan tanpa rasa
Berkalam tanpa suara
Hanya terdengar desingan kebohongan
Membuat sang bidadari seperti di sorga

Namun hati tetap hati
Telah mati rasa
Meski sang bidadari mati
Hati tetap terkunci
Dengan gembok keegoisan
Memenjarakan rasa dalam bui hati
Sampai kapan?

Tanjungpinang  2010
di ruang rasa

Minggu, 11 Maret 2012

SYAIR BALAS BUDI : Sebuah Interopeksi Diri

Terkenang diri di masa lalu
Semasa kecil macam kelaku
Emak dan bapak penat selalu
Celotehkan anak kepala batu

                Emak suruh pergi mengaji
                Supaya akhlak baik terpuji
                Sayangnya anak bingal sekali
                Asyiklah main lupakan diri

Bapak balik carikan nafkah
Sisihkan duit untuk sedekah
Anak menangis minta rupiah
Mulianya bapak senyum merekah

                Kini anak sudahlah dewasa
                Emak dan bapak dimakan usia
                Anak dididik dengan agama
                Sekarang tumbu baik akhlaknya

Tibalah saat ‘tuk balas budi
Jasa emak bapak tak dapat dibeli
Bukanlah harta inginnya hati
Mereka harap anak berbakti

Tanjungpinang, 26-12-2010
Pukul 00.08 WIB

Catatan :
Ikan todak ikan tenggiri
Ketiganya dengan ikan kakap
Bukanlah harte ‘tuk balas budi
Anak berbakti selalu diharap

CERITA TENGAH MALAM (CTM)


Detik jam dinding berdetak seiring dengan detak jantungku. Malam yang sunyi, senyap nyaris tanpa suara. Bertemankan sebuah kertas putih yang siap dinodai oleh tinta. Lewat tangan dan pena yang menari tanpa lelah, cerita hati mulai mengisi ditengah malam yang sunyi.

3 tahun yang lalu . . .
                Terkisah seorang pemuda yang kaya raya, anak saudagar ternama, berkelana mencari arti sebuah cinta. Tanpa harta orang tua, si pemuda terus mengembara, menelusuri setiap sudut yang paling tersudut, hanya berbekal dengan keyakinan.
                Si pemuda terus mencari. Keringat menjadi saksi ketulusan hati. Pesona wajahnya menyebar disetiap penjuru hati wanita. Menarik nafsu mereka yang tak mengenal malu. Namun si pemuda tetap berkata satu, menjawab dengan senyuman. Tak sekalipun melirik merka dengan tatapan tanpa iman. Si pemuda sadar “jalan mereka” bukan jalan yang ia cari.
                Di pondok kecil, si pemuda berteduh diri. Maksud hati hendak menunaikan kewajiban ditengah teriknya matahari. Seorang ibu tua menyambut dengan penuh senyuman dan tatapan keramahan. Memberi sebuah ruang kosong, tertata rapi.
                Si pemuda menatap ibu tua, dengan tatapan penuh hormat dan bermaksud minta diri. Dari kejauhan, tampak seorang dara yang berbalut jilbab putih berjalan perlahan, semakin dekat, mendekat, dan merapat. Si pemuda menatap sejenak. Malu rasa hati terhenyak. Melihat kecantikan alami sang dara, penuh pesona. Apakah itu cinta ?
                Sang dara mulai menyapa, dengan rayuan penasaran, menggetarkan hati setiap lelaki. Si pemuda hanya terdiam diri dan minta diri. Sang dara sadar nafsu mengalahkan logika sehingga ia terperangkap dalam jerat nista.
                Si pemuda terus berjalaan, tanpa penyesalan. Hati terus berkata “apa itu cinta ?”. si pemuda menatap langit, matahari mulai meredup. Tak kuasa menahan diri, ia terjatuh tak sadarkan diri.
                Di tengah jalan yang sepi, seorang gadis buruk rupa menangis tanpa suara dan air mata, berjalan tergesa. Dan tak percaya si gadis melihat seseorang di samping jalan, tergeletak tak berdaya. Dengan segala kekuatan, si pemuda berhasil diselamatkan. Si gadis menyiapakan makanan dan minuman di sebuah gubuk kecil.
                Si pemuda mulai membuka mata. Alangkah terkejutnya ia, seorang gadis buruk rupa merawatnya dengan penuh kasih sayang. Mengorbankan tenaganya yang lemah untuk menolong umat yang susah. Subhanallah
                Si pemuda percaya, gadis adalah cinta. Cinta yang selama ini ia cari. Dengan segala pengorbanan, berbekal keyakinan. Si pemuda dengaan rasa gugup menyampaikan isi hati. Si gadis hanya diam tanpa kata. Ia sebatang kara, tiada sesiapa dapat berbagi suka dan duka. Si gadis sadar, ia seorang buruk rupa. Tak sebanding dengan pemuda yang penuh pesona. Secara halus ia menolak.
                Si pemuda semakin dengan arti cinta. Ia menyambut hormat keputusan si gadis. Rela mengorbankan perasaan meski menyakitkan. Si pemuda minta diri dan pulan dengan sebuah arti “cinta adalah pengorbanan”.

Sabtu, 10 Maret 2012

“SUMPAH PEMUDA”, SUMPAH SIAPA? : Sebuah Realita




Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

            Ikrar di atas merupakan sumpah setia oleh peserta yang hadir pada Kongres Pemuda II (27 s.d. 28 Oktober 1928) atau lebih dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. Dengan menyuarakan semangat perjuangan, 17 tahun kemudian Indonesia berhasil mencapai kemerdekaan. Tepatnya 17 Agustus 1945.
            Sumpah berarti janji. Melanggar sumpah berarti melanggar janji atau biasanya disebut khianat. Khianat merupakan ciri munafik. Dengan demikian, melanggar “Sumpah Pemuda” berarti melanggar janji pemuda Indonesia dan menjadi diri sebagai orang munafik. Tentu sebagai pemuda Indonesia kita tak mau dicap “munafik”, bukan?
            Secara objektif “Sumpah Pemuda” memberi dampak positif bagi bangsa Indonesia. Pemuda-pemuda Indonesia mulai dari pelajar, mahasiswa, buruh, , bahkan pejabat pun (mereka yang masih muda atau “pernah muda”) menyuarakannya dengan mengisi kemerdekaan Indonesia. Secara tak langsung, “Sumpah Pemuda” merupakan ikrar untuk mengisi kemerdekaan.
            Dari spekulasi di atas, timbul sebuah pertanyaan. “Sumpah Pemuda”, sumpah siapa?. Jawabannya tentu sederhana, seluruh pemuda Indonesia. Tapi, apakah kita yakin?. Untuk membela tanah air yang dirampas bangsa lain saja kita tak mampu. Membela rakyat yang tengah menderita di negara lain pun kita tak bisa. Tidakkah kita melanggar “Sumpah Pemuda”?.
            Penulis memiliki pandangan khusus tentang “Sumpah Pemuda”. “Sumpah Pemuda” memiliki 3 karakteristik yang patut dipahami. Pertama, “Sumpah Pemuda” berisi tentang pengakuan bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Artinya pemuda Indonesia dituntut untuk  mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para pahlawan saja berjuang sampai titik darah penghabisan. Bagaimana dengan kita, pemuda Indonesia di era kemerdekaan?. Hendaklah kita berjuang mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang positif. Seorang pemimpin terkenal, Abraham Lincoln, pernah berkata “Dengan keteguhan hati dan kebenaran yang sesuai dengan titah Tuhan, marilah kita berusaha untuk menyelesaikan tugas kita sekarang, yaitu menyembuhkan luka-luka bangsa.”.
            Kedua, “Sumpah Pemuda” berisi tentang pengakuan berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Artinya pemuda Indonesia wajib mengenal bangsa Indonesia dengan beragam kebudayaan dan suku bangsanya. Untuk menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari gugusan pulau-pulau bukanlah perkara mudah. Sepatutnya kita sebagai pemuda terus melestarikan kebudayan Indonesia agar tak punah. Bangsa yang satu adalah bangsa yang mampu menjaga keharmonisan sosial. Seorang tokoh, Beddiuzzaman Said Nursi, pernah berkata “Kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan ketenangan dalam kegiatan masyarakat itu, sedangkan bermusuhan menyebabkan seluruh kegiatan itu mandeg (kacau).”. Mari kita jadikan bangsa ini bangsa yang satu!.
            Terakhir, “Sumpah Pemuda” berisi tentang pengakuan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Artinya, pemuda Indonesia dengan semangat kemerdekaan hendaklah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Identitas sebuah bangsa tak lepas dari bahasanya. Dengan menerapkan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan mempermudah komunikasi antar suku bangsa di Indonesia. Bukan berarti harus meninggalkan bahasa asal suatu suku bangsa. Ingat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti walaupun berbeda suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, tetap satu jua.
            Sebentar lagi kita akan merayakan momentum “Sumpah Pemuda”, 28 Oktober 2011. Mari bangkit pemuda-pemuda Indonesia. Jangan jadikan pemuda “tumbal” penguasa, tapi jadikan pemuda generasi penerus bangsa. Salam pemuda Indonesia!.

MENULIS ASA


Kukubur resah dalam-dalam
Kutanam mimpi idam-idam
Hingga tumbuh benih asa
Menjulang bagai Sequoia Sempervirens

Sebaris masa telah berganti
Dan tinta pun mulai menari
Menulis asa di peraduan
Kumengeja waktu

Tanjungpinang, 26 Februari 2012
Di Peraduan Malam

Catatan :
Sequoia Sempervirens adalah nama pohon tertinggi di dunia yang tumbuh di California. Tingginya mencapai 300 kaki.