Sejuk embun di pagi itu terasa menusuk ke pori-pori. Sang
tetesan pagi itu pun mengejutkanku dari lelapnya tidur. Mata sembabku seakan
menentang tubuh yang memaksanya tercelik. Sambil mengusal-usal mata, aku
bergegas keluar kamar dan melihat jarum jam dinding menunjuk pukul 05.00 WIB.
“Masih pagi betul. Wuaaaaah…” pikirku.
Setelah sejenak melepas kantuk, aku pun bersiap-siap
untuk mandi. Air sungai menjadi tempat mandi favoritku bersama teman-teman.
Maklum saja, air bersih belum sempat singgah ke kampungku. Air yang berwarna kemerah-merahan
seakan menjadi darah segar yang mengalir ke dalam jiwa-jiwa yang terpencil.
Kami pun beradu dalam dinginnya sang sumber kehidupan.
“Astaghfirullah…” ucapku sambil mengurut dada.
Ternyata merdunya kumandang azan subuh tadi tak mampu
menyadarkanku. Berarti tadi aku tidur dengan berselimutkan “kulit babi”.
“Bukankan Rasulullah S.A.W. pernah bersabda bahwa barang
siapa yang shalat dua waktu yang dingin, maka dia akan masuk surga (H.R.
Bukhari dan Muslim). Dan aku tak akan menyia-nyiakan waktuku” pikirku dalam
hati.
Aku pun menepis pikiranku, lalu wudhu dan shalat.
***
Putih biru, seragam sekolah kusam yang sudah 2 tahun
belum mampu kuganti. Ah, biar
sajalah. Bukanlah seragam sebagai benih, namun niat dalam hatilah yang akan
tumbuh menjulang dalam menuntut ilmu. Bismillah…, aku pun melangkah bersama
sepeda biruku. Sepeda yang kudapatkan dengan susah payah. Hasil tabunganku
ditambah titik peluh ayah ibuku menjadi saranaku menuju cita-cita itu.
Kondisi jalan yang becek akibat tangisan alam semalam
cukup membuat kami kerepotan. Sepatu kugantungkan di stang sepada. Dan kami baru dapat mengayuhnya saat sudah sampai di
desa Panggaklaut. Desa ini merupakan dusun I, sedangkan kampungku (Nerekeh)
merupakan dusun II. Dusun-dusun sagu pun berceceran di tepi jalan melebar ke
hutan. Sang Metroxylon sago Rottb tumbuh menjulang tinggi ke langit.
“Ah,andaikan di
kampungku ada pabrik sagu, tentunya SDAnya akan berkembang pesat” kataku sambil
berandai-andai.
“Jang…Jang…Macam manalah kampung kita akan maju, jalan masih
tanah belorok, listrik pun tak masuk-masuk”
timpal Awang sambil mengayuh sepedanya.
“Nah,kalau
macam tu berarti kita sebagai generasi mudalah yang akan merubahnya Wang. Pohon sagu batang pelepah, tumbuh menjulang
di tanah paya, Insyaallah negeri akan berubah, kalau generasi muda terus
berkarya. Betul tak tu Jang?” kata Maimunah dengan melirik ke arahku dan
aku mengangguk kecil tanda setuju.
Kami pun asyik berbual di sepanjang jalan. Tak terasa
sudah tampak atap sekolah kami. Sekolah SMP N 1 LINGGA. Tempat berkumpulnya
jiwa-jiwa penerus masa depan Lingga.
“Maimun,..Cobalah awak lihat gunung cabang tiga itu. Elok
sungguh memasung mata” pekikku pada Maimunah.
“Iya Jang…Bangga kami jadi orang Daik. Kaya SDA, kaya
sejarah, kaya budaya, dan pemandangan alamnya tak kalah elok dengan Pulau
Dewata” sahut Maimunah setengah arogan.
Memang betul cakap Maimunah. Pemandangan alam di Daik
Lingga cukup mengesankan. Lihat saja Pantai Karang Bersulam dengan hamaparan
pasir putihnya yang memanjang atau sering dikenal dengan Pasir Panjang. Selain
itu, situs-situs peninggalan kerajaan Melayu Riau-Lingga dapat dilihat di sana.
***
Part 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar